Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Mengingatkan Suami Itu Baik
Oleh : Mohammad Fauzil Adhim
Gurumu, Hormatilah!
Salah satu pintu-pintu ilmu adalah datang dari guru-guru kita. Anak-anak yang dahulu belum bisa membaca, terus belajar mengenal huruf A, B, C, D, dan seterusnya, tentu tidak lepas dari jasa seorang guru. Anak-anak bisa mengeja kumpulan huruf, SAYA, AKU, KITA, BANGGA, dan lain sebagainya, tentu tidak lepas dari bimbingan guru. Anak-anak jadi pandai membaca kata, kalimat, bahkan hingga paragrap, itu semua tidaklah lepas dari bimbingan serta jasa para guru. Anak-anak pandai menulis huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat, bahkan paragrap demi paragrap, itu semua karena bimbingan guru. Anak-anak bisa berhitung 1, 2, 3, 4, dan seterusnya tentu berkat ketekunan dan ketelatenan para guru. Anak-anak bisa berhitung penjumlahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan rumus-rumus matematika lain, tentu juga tidak lepas dari bimbingan para guru.
Anak-anak waktu bayi diajari merangkat, berdiri, berjalan, makan, minum, berbicara, dan sebagainya itu juga bimbingan orang tua kalian sebagai guru-guru ketika di rumah. Sudah tentu banyak hal-hal yang baru kita tahu karena jasa seorang guru. Banyak hal-hal yang kita tidak paham harus ditanyakan kepada guru.
MasyaAllaah.... kalau kita hitung satu demi satu, maka akan sangat banyak jasa para guru dalam hidup dan kehidupan kita.
Ilmu datangnya dari Allah Taala melalui perantara guru-guru kita. Maka sudah sangat pantas bagi seorang murid menghormati dan menjaga adab kepada guru-guru mereka.
Nah, salah satu dari menjaga adab adalah, anak-anak tidak boleh memanggil dengan menyebut namanya secara langsung, misalnya nama guru kita Ahmad, maka jangan langsung memanggil "AHMAD", tapi panggilah dengan panggilan yang lembut, misal Bapak Ahmad, Ustadz Ahmad. Bahkan ketika anak-anak tidak bersama guru kalian.
Tidak juga memanggil dengan sebutan kamu, mu, dan lain sebagainya. Misalnya anak-anak bertanya kepada gurunya, "kamu sudah makan belum?" tapi panggilah dengan panggilan yang sopan, "Bapak sudah makan belum?", "Ustadz sudah makan belum?". Begitu juga ketika memanggil kepada Ayah-Bunda, Bapak/Ibu kalian, maka harus dengan sopan dan santun. Misalnya, "Ibu saya berangkat dulu yaa...", atau "Bapak, saya minta uang sakunya."
Tentu masih banyak lagi adab-adab murid kepada guru, adab-adab anak kepada orang tua. Karena pada saat ini, anak-anak sekalian belajar dari rumah bersama orang tua kalian sebagai guru-guru kalian. Jangan sampai guru-guru kita merasa sedih, karena murid nya berlaku tidak sopan, pun demikian, jangan sampai ayah dan bunda kita sedih karena anak-anak sering berbuat kesalahan.
Jika kalian melakukan kesalahan kepada guru-guru kalian, maka akui kesalahannya dan mintalah maaf kepada mereka. Gurumu, hormatilah!
TMT
Hikmah Dari Seorang Tunanetra
Oleh : Jami Azzaini
Saya pernah mendapat cerita dari sahabat saya tentang seorang tunanetra yang memberi pelajaran berharga. Suatu malam, seorang tunanetra datang ke rumah salah satu warga di komplek perumahannya. Setelah acara ramah tamah selesai, tuan rumah menawarkan diri untuk mengantar pulang sang tunanetra. Namun dengan lembut dijawab “terima kasih pak, saya pulang sendiri saja, saya hafal jalan pulang ke rumah. Namun saya lupa membawa senter, tolong pinjami saya senter pak.”
Tuan rumah sedikit terkejut dengan permintaan tamunya sehingga secara reflek ia berkata “senter?” Tunanetra itu menjawab mantap “benar pak, senter.” Tuan rumah penasaran, ia pun memberanikan diri mengajukan pertanyaan “bukankah Anda tidak melihat? tidak ada bedanya khan Anda pakai senter atau tidak?”
Dengan senyuman manis sang tunanetra itu menjawab “saya memakai senter bukan untuk menerangi jalan tetapi untuk melindungi orang lain. Saat saya menyalakan senter maka orang lain melihat keberadaan saya sehingga mereka tidak akan mengalami kecelakaan yang merugikan orang tersebut dan juga merugikan saya.”
Begitu pula dalam situasi pandemik covid-19, kesadaran kita untuk memakai masker dan menjaga jarak, bukan hanya untuk kepentingan kita semata tetapi juga untuk melindungi orang-orang di sekitar kita. Itu juga pertanda bahwa kita tidak egois namun juga memikirkan kesehatan orang lain.
Hidup bukan hanya memikirkan diri kita tetapi juga orang-orang di sekitar kita. Sebab apapun yang kita lakukan akan berdampak bukan hanya kepada kita tetapi juga kepada orang-orang di sekitar kita.
Sumber : www.jamilazzaini.com
Smart Phone, Smart Muslimah
Oleh: Khairul Hibri
Smart phone telah menjadi bagian kehidupan manusia modern saat ini, tak terkecuali bagi kaum wanita/muslimah. Jangankan kawasan perkotaan. Di pedesaan pun menjamur. Banyak ibu-ibu dan pemudi yang menggunakan gawai. Mudah sekali ditemukan. Di jalan umum, tempat keramaian, ataupun di emperan rumah, sambil mengawasi anak kecilnya yang tengah bermain.
Seperti sebutannya; smart phone (telepon cerdas/pintar), seharusnya alat ini mampu mengantarkan pemiliknya menjadi sosok-sosok yang cerdas. Bila ia berada di bawah kendali seorang muslimah, maka dengannya muslimah kudu memanfaatkannya untuk menambah kecerdasan diri.
Bukan sebaliknya. Alat komunikasi yang dimiliki kadung cerdas. Tapi yang punya, masih tetap gitu-gitu saja. Bahkan cenderung dibodohi, karena senang mengonsumsi dan mendistribusikan hal-hal yang berunsur hoaks.
Ragam Kecerdasan
Lalu, kecerdasan apa sajakah yang bisa diasah melalui smart phone ini?
Banyak sekali. Tapi dalam catatan singkat ini, penulis mengerucutkan kepada tiga hal saja, yang penulis anggap cukup mendasar.
Pertama, meningkatkan kecerdasan spiritualitas dan intelektualitas muslimah. Untuk mengawali kupasan ini, penulis akan menarik pengalaman pada tahun 2000-an. Saat itu ada seorang sahabat bertutur tentang delimatika seorang muslimah, yang ingin mendalami ilmu Bahasa Arab secara privat.
Persoalannya, gurunya seorang ikhwan (pria). Sebab mencari seorang akhwat (perempuan), akunya sulit. Khawatir menjadi fitnah dan omongan tetangga, akhirnya akhwat dan teman itupun memutuskan untuk mengakhiri les privat Bahasa Arab itu. Meski sejatinya si akhwat
“Kok sulit sekali, yah, kalau akhwat mau belajar secara privat,” curhatnya.
Kenapa bisa terjadi demikian? Dimaklumi saat itu smart phone belum semarak seperti saat ini. Untuk konteks kekinian, tidak ada lagi persoalan bagi para muslimah untuk mendalami ilmu-ilmu agama.
Banyak sekali ustadz yang pengetahuan keagamaannya mendalam, memiliki akun media sosial atau chanel youtube. Seperti Ust. Abdul Shomad, Ust. Adi Hidayat, AA Gym, dan sebagainya. Tinggal klik. Sesuka hati. Pilih tema tertentu yang disukai. Ada akidah, akhlak, sejarah, fiqih, bahasa. Bahkan qiraa’ah juga ada.
Apalagi di era pandemi ini. Banyak sekali seminar (webinar) atau pun sekolah-sekolah online, baik yang diselenggarakan oleh individu maupun instansi resmi. Semua ini peluang untuk membuka wawasan yang lebih luas lagi.
Bekal ilmu agar menjadi smart muslimah era modern ini sangatlah penting. Karena wasilah ilmu, sebagaimana yang diungkap oleh Imam Syfai’i, akan mengarahkan pemiliknya kepada jalan yang benar. Nuurullah (cahaya Allah SWT). Lebih dari itu, di tangan kaum wanita ini pula diserahkan kepengasuhan generasi-generasi Muslim mendatang.
Terbayang, bagaimana runyamnya generasi masa depan, bila sang ibu, lebih suka ber-selfie dan ber-Tik Tok-ria, ketimbang mendengarkan hal-hal yang positif, yang bisa membangun kecerdasan otak dan jiwa. Anak akan meniru. Akhirnya lahirlah generasi-generasi lemah yang lebih suka narsis di media sosial, dan abai menghadiri majelis ilmu. Na’udzubillah min dzalik.
Jenis cerdas yang kedua; cerdas ekonomi. Sebelum era smart phone berkembang pesat, kaum wanita dituntut untuk keluar rumah manakala ingin bekerja. Tak ayal, keluarga terutama anak harus ditinggal. Atau dititipkan ke ibu asuh, atau ke tempat penitipan anak.
Era kekinian, sistem kerja kaum wanita seperti itu seharusnya tidak mendominasi lagi. Sebab, bila tujuannya untuk mendapatkan penghasilan. Maka dengan bermodal smart phone di tangan, sudah bisa membangun bisnis dari rumah.
Baca juga: Sayyidah Aisyah: Muslimah Intelek dan Kritis
Pilihannya pun banyak. Bisa dengan mengembangkan skil melalui pelatihan-pelatihan gratis di internet, kemudian dipasarkan. Atau membuka pasar on line. Tidak punya modal banyak, bisa dirintis dengan berperan menjualkan barang orang lain (reseller/dropship).
Banyak sekali jutawan yang lahir dari bisnis online ini. Pangsa pasarnya sangat besar dan luas. Setali tiga uang. Berlimpah juga sosok-sosok mendadak kreatif gegara smart phone. Misal, keponakan saya di kampung. Tetiba pandai sekali membuat kue dan memasarkan di daerah sekitar. Laris manis. Padahal mengakunya tidak bisa memasak. Diselidiki, ternyata ilmunya dari internet.
Efek positif yang akan didapat dengan menekuni dunia ini, selain peruntungan ekonomi, juga akan meminimalisir muslimah meninggalkan rumah/keluarga. Dengan demikian, rezeki lancar, keluargapun tidak ambyar. Karena tetap bisa berperan sebagai istri dan ibu secara maksimal di rumah. Insya Allah.
Selanjutnya, kecerdasan yang terakhir; menemukan komunitas nan baik yang senantiasa mengingatkan kepada ketaatan. Bila mendapati, ini adalah anugerah terbesar bagi seseorang. Karena bagaimanapun juga, sebagai orang beriman, butuh asupan ruhani, sehingga tetap bisa istiqomah meniti jalan Allah SWT. Sebab, sifat dasar dari iman; bertambah dan berkurang. “Khairul ash-haabi man yadullu ‘ala al-khairi (sebaik-baik teman adalah yang mengarahkan kepada kebaikan)”
Lebih dari itu. Mereka yang bersahabat dalam ketaatan, akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Dan kelak di hari akhirat, berpeluang memperoleh naungan langsung dari Allah SWT, di mana tidak ada naungan selain dari naungan-Nya (Riwayat Bukhari dan Muslim).
Dalam konteks media sosial, banyak sekali komunitas yang terhimpun di dalam grup-grup. Baik itu Facebook, WhatApp, Instagram, dan lain-lainnya. Termasuk juga majelis-majelis ilmu online. Ada yang gratis. Adapula yang berbayar. Tinggal pilih. Cari yang sesuai dengan keinginan. Kalau tidak sesuai dengan yang diharapkan, tinggal pamit undur diri, kemudian cari komunitas lain.
Seiring dengan menemukan komunitas salihah itu tadi, setali tiga uang, akan mendapatkan tempat curhat yang tepat. Amati sosok-sosok yang kiranya bisa menjadi tumpuan mencurahkan isi hati. Pastikan dia bisa menjaga rahasia. Dengan demikian, terurailah persoalan, tanpa harus terpublikasikan kepada khalayak.
Berbeda sekali bila meluapkannya di beranda medsos. Terkadang bukan solusi yang didapat. Malah cibiran dari teman-teman media sosial. Hal buruknya, urusan privasi menjadi santapan publik.
Jadi, ayo berusaha cerdaskan diri (be smart) dengan wasilah smart phone di genggaman. Insya Allah, status smart muslimah yang disayangi Allah SWT dan Rasul-Nya pun akan diraih. Allahumma aamiin.
*Pengasuh Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman al-Hakim (STAIL), Surabaya
Sumber : www.hidayatullah.com
Setiap Ibu Berhak Memiliki Anak yang Sangat Mulia
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Agar Masalah Tidak Lagi Menjadi Masalah
Oleh : Jamil Azzaini
Dua puluh tahun yang lalu, saya pernah mengalami masalah yang datang bertubi-tubi tiada henti. Bisnis bangkut, istri dirawat di ruang ICU, debt collector yang sering meneror dan derita-derita lainnya. Fakta ini membuat saya tertekan, stres dan terkadang mengalami kebingungan yang tiada ujung pangkalnya.
Saat saya mengadu ke mentor saya, ia hanya berkata “Setiap masalah tidak bisa diselesaikan. Jangan fokus menyelesaikan masalah, buat dirimu bertumbuh jauh lebih besar dan lebih kuat maka masalahmu menjadi tidak relevan.” Ia menambahkan dengan membuat analogi “bagi anak di bawah usia tiga tahun, membawa tas laptop itu berat. Namun bagi kita, membawa tas laptop itu ringan. Mengapa? Karena kita sudah jauh lebih besar dibandingkan tas laptop tersebut. Tas laptop sudah tidak menjadi masalah lagi bagi kita, sudah tidak relevan.”
Sejak itu, saya pun mencari tahu, bagaimana caranya agar kita bisa tumbuh lebih kuat dan lebih besar agar berbagai masalah yang kita hadapi menjadi tidak relevan lagi. Kita bisa menikmati hidup karena masalah sudah tidak lagi mendikte kehidupan kita.
Berdasarkan pengalaman pribadi saya dan juga pengalaman saya memberikan treatment kepada banyak orang serta diskusi saya dengan sahabat dan guru saya mas Ahmad Faiz Zainuddin usai ia belajar keliling dunia, maka menurut saya, ada tiga langkah yang perlu kita lakukan agar kita bisa tumbuh lebih cepat dan kuat. Mau tahu? Berikut penjelasannya.
Pertama, Menggunakan “What If” Question (Bagaimana Jika?). Saat saya mau keluar dari Dompet Dhuafa (DD) Republika dan berganti profesi menjadi Inspirator pada tahun 2004, saya mengajukan pertanyaan ini. Bagaimana jika saya keluar dari DD Republika? Bagaimana jika saya ditolak pasar? Bagaimana jika latar belakang pendidikan Inspirator haruslah Psikologi?
Begitu pula saat saya menyiapkan pensiun dini dari CEO Kubik Leadership, dua tahun sebelum pensiun, saya sudah mengajukan pertanyaan “Bagaimana jika saya pensiun dari CEO Kubik Leadership? Bagaimana jika penghasilan tetap saya berkurang? Bagaimana jika ilmu-ilmu saya sudah tidak relevan dengan kebutuhan client? Dengan mengajukan pertanyaan Bagaimana Jika…? Saya lebih siap menghadapi apa yang terjadi.
Kedua, Terus bertumbuh. Awal dari perilaku kita adalah mindset, maka kita perlu memiliki Growth Mindset. Anda bisa memperdalam tentang Growth Mindset dengan membaca buku karya Carol Dweck yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Tidak cukup mindset, sikap dan perilaku kita pun perlu terus bertumbuh. Kita perlu secara berkala menghilangkan dan mengurangi hal-hal yang tidak perlu, meningkatkan yang sudah menjadi kelebihan kita dan selalu menciptakan hal-hal baru.
Keahlian pun perlu ditingkatkan bahkan kita perlu terus menambah keahlian baru yang relevan dengan kebutuhan kini dan masa depan. Jangan pernah berhenti belajar. Dengan ini, kita terus bertumbuh.
Ketiga, Fokus kepada kelebihan dan peluang masa depan. Bila kita fokus kepada kelebihan dan kekuatan, yang ada dalam diri kita adalah rasa syukur yang berlimpah. Dan rasa syukur ini akan mengundang banyak kebaikan lainnya mendekat kepada kita. Selain kita fokus kepada kehidupan saat ini, kita pun perlu memikirkan berbagai peluang yang ada dimasa depan. Hal ini akan membuat kita selalu siap dengan apapun perkembangan yang terjadi di masa yang akan datang. Hal ini sejalan dengan pendapat David L Cooperrider & Diana Whitney yang dituangkan dalam bukunya Appreciative Inquiry: A Positive Revolution in Change.
Nah, apabila Anda masih sering merasa menghadapi masalah yang datang silih berganti, saatnya Anda melakukan tiga hal tersebut di atas agar masalah menjadi tidak relevan lagi bagi Anda. Selamat mencoba.
Jamil Azzaini, Penulis Buku dan Motivator Sukses Mulia
Sumber : www.jamilazzaini.com
Anak-anak yang Mati Rasa
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Cara Memahami dan Cara Menikmati
Oleh : Cahyadi TakariawanApabila kita memiliki botol dengan volume satu liter, yang berisi air mineral setengah bagiannya, apa komentar kita untuk menggambarkan kondisi itu?
Pertama, kita bisa mengatakan “Syukur alhamdulillah, saya masih memiliki setengah botol air mineral. Saya bisa menikmatinya untuk menghilangkan haus”.
Kedua, kita bisa mengatakan, “Ya ampun, air mineralku sudah habis, tinggal setengah lagi. Celaka, aku nanti pasti akan kehausan”.
Apa yang membedakan antara komentar pertama dan kedua di atas? Perbedaannya adalah dalam cara memandang realitas setengah botol air mineral tersebut, dan cara menikmatinya.
Komentar pertama memandang dari segi “setengah botol yang berisi air mineral”, sehingga ia mampu bersyukur karena masih memiliki air untuk diminum.
Komentar kedua memandang dari segi “setengah bagian botol yang kosong”, sehingga merasa sudah tinggal sedikit lagi air mineral yang dimilikinya untuk menghilangkan haus.
Realitas yang dimiliki sama, yaitu volume air mineral tersebut adalah setengah liter, berada dalam botol yang volumenya satu liter. Namun cara memandangnya berbeda, mau memandang setengah liter yang berisi, atau memandang setengah liter bagian botol yang kosong. Karena cara pandang yang berbeda, maka berdampak cara menikmatinya pun berbeda.
Komentar pertama bercorak positif dan optimistik, sehingga akan mampu menikmati dengan sepenuh kesyukuran. Sedangkan komentar kedua bercorak negatif dan pesimistik, sehingga tidak mampu menikmati dengan kesyukuran, bahkan cenderung banyak mengeluh dan menyesali kondisi.
Karena realitas yang dihadapi sama, maka akan lebih nyaman bagi kita untuk memilih cara pandang yang positif dan optimistik, agar lebih bisa menikmati dengan sepenuh kesyukuran dan kelapangan hati.
Demikian pula dalam memandang serta menikmati kondisi pasangan. Seorang suami membuat daftar harapan untuk isteri, dan ia menemukan seratus poin harapan ideal untuk isteri. Setelah dicermati, ternyata isterinya memiliki enampuluh poin harapan dari seratus poin yang diinginkan, alias 60 %.
Sekarang, apa komentar suami atas realitas 60 % tersebut? Hal ini tergantung dari cara memandang dan cara menikmatinya.
Belajar Leadership dari Muhammad Al Fatih
Oleh : Jamil Azzaini
Tanggal 17 Januari 2021, saya menginjakkan kaki di Turki, dari bandara kami langsung menuju kawasan Topkapi Palace yang bersebelahan dengan Masjid Hagia Sophia.
Sesampai di tempat itu, pikiran saya menerawang ke tahun 1453 saat Muhammad Al Fatih yang baru berusia 21 tahun mampu menaklukkan Konstantinopel. Tempat yang pernah disebutkan Rasulullah 825 tahun sebelumnya.
Rasulullah mengabarkan bahwa Kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad)
Kunci kemenangan Al Fatih adalah melakukan hal berbeda dan tampak mustahil bagi kebanyakan orang. Apa itu? Saat itu, Al Fatih beserta ribuan tentaranya menarik kapal-kapal mereka melalui perbukitan Galata (tidak lewat laut) agar bisa masuk ke Selat Golden Horn.
Tujuh puluh kapal diseberangkan melalui bukit hanya dalam satu malam. Kejadian ini diabadikan Sastrawan Yoilmaz Oztuna: “Tidaklah kami pernah melihat atau mendengar hal ajaib seperti ini, Al Fatih telah menukar darat menjadi lautan dan melayarkan kapalnya di puncak gunung. Bahkan usahanya ini mengungguli apa yang pernah diilakukan oleh Alexander The Great.”
Selain berani melakukan hal yang berbeda. Al Fatih juga menyuntikkan semangat keimanan dan value yang mendasar bagi pasukannya (timnya). Sehari sebelumnya ia memerintahkan semua tentaranya untuk berpuasa pada siang hari dan shalat tahajud pada malam harinya untuk meminta kemenangan kepada Allah. Tiada kemenangan tanpa izin-Nya.
Begitu ia menaklukkan Konstantinopel dan memasuki Hagia Sophia ia bersujud menghadap kiblat kemudian mengambil segenggam tanah dan kemudian ia taburkan di atas kepalanya. Ia tidak ingin gelar “pemimpin terbaik” merusak iman dan hatinya. Kita semua berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah.
Setelah berhasil menaklukkan Konstantinopel yang sekarang telah berubah menjadi Istambul, ia menjadi pemimimpin di tempat itu. Ia melindungi seluruh rakyat baik yang beragam Islam maupun yang beragama selain Islam. Masyarakatnya jauh lebih sejahtera dibandingkan saat Konstantinopel dalam naungan Kerajaan Byzantium.
Begitulah pemimpin terbaik: menanamkan keimanan dan value, berani berpikir beda, rendah hati dan mengayomi seluruh yang dipimpinnya.
Bursa – Turki, 18 Januari 2021
Sumber : www.jamilazzaini.com
Kebencian Itu Luruh Di Ujung Hidayah
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Berbuat Baik Kepada Kedua Orangtua
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.
Falsafah Telur
Oleh : Ustadz Sholih Hasyim, Lc.
Kebaikan bisa saja lahir dari keterpaksaan, meskipun akan lebih terasa nyaman jika kebaikan itu hadir bersama kesadaran. Dari sebutir telur kita bisa mengambil falsafah untuk menerjemahkan penggal kalimat di atas.
Di dalam telur tersimpan benih kehidupan, maka ia dilindungi cangkang yang keras. Jika sedikit saja cangkang retak atau pecah yang disebabkan faktor dari luar, akan membuat telur gagal menetas. Tidak ada kehidupan yang muncul. Sebaliknya jika cangkang itu pecah karena faktor dari dalam, karena memang waktunya menetas, akan melahirkan satu makhluk hidup baru yang siap berkembang.
Sobat, begitu juga dengan diri kita. Jika nilai-nilai kebaikan universal seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, cinta kebersihan dan lainnya kita lakukan karena keterpaksaan atau rasa takut dari pihak luar. Dari guru atau orang tua, misalnya. Maka kebaikan-kebaikan itu akan terasa berat untuk dilakukan, dan mudah terhenti bila tidak ada lagi kontrol dari orang lain. Tidak memberi kesan dalam diri.
Berbeda jika kebaikan itu lahir dari kesadaran diri. Mengingat manfaat-manfaat yang dapat kita peroleh. Besar kemungkinan, kebiasaan baik itu akan tetap terjaga secara konsisten. Akan melahirkan ‘kehidupan baru’ yang semakin mendekatkan diri kita kepada kesuksesan.
“Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Asy Syuura [42]: 23)
Memunculkan kesadaran dari dalam diri untuk melakukan kebaikan memang tidak mudah. Butuh ilmu, keyakinan dan ikhtiar secara terus-menerus. Ilmu yang membuat seorang tahu kemanfaatan dari amal yang dilakukan. Keyakinan akan membentuk jiwa yang percaya kepada diri sendiri. Tidak mudah tergerus oleh pergaulan yang mengajak kepada kerusakan. Sedang ikhtiar yang konsisten akan mengubah kebiasaan menjadi akhlak. Sebab memang ada kalanya pembentukan akhlak harus dipaksa.
Sobat, hari ini kita telah belajar falsafah dari sebutir telur. Semoga membukakan hati kita untuk lebih bersemangat dalam melakukan kebaikan yang lahir dari kesadaran diri. Allah telah berjanji, setiap kebaikan, akan dibalas dengan kebaikan.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar Rahmaan [55]: 60)
Ustadz Sholih Hasyim, Lc., Anggota DPP Hidayatullah