Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Kebencian Itu Luruh Di Ujung Hidayah
Berbuat Baik Kepada Kedua Orangtua
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim, S.Psi.
Falsafah Telur
Oleh : Ustadz Sholih Hasyim, Lc.
Kebaikan bisa saja lahir dari keterpaksaan, meskipun akan lebih terasa nyaman jika kebaikan itu hadir bersama kesadaran. Dari sebutir telur kita bisa mengambil falsafah untuk menerjemahkan penggal kalimat di atas.
Di dalam telur tersimpan benih kehidupan, maka ia dilindungi cangkang yang keras. Jika sedikit saja cangkang retak atau pecah yang disebabkan faktor dari luar, akan membuat telur gagal menetas. Tidak ada kehidupan yang muncul. Sebaliknya jika cangkang itu pecah karena faktor dari dalam, karena memang waktunya menetas, akan melahirkan satu makhluk hidup baru yang siap berkembang.
Sobat, begitu juga dengan diri kita. Jika nilai-nilai kebaikan universal seperti kejujuran, disiplin, kerja keras, cinta kebersihan dan lainnya kita lakukan karena keterpaksaan atau rasa takut dari pihak luar. Dari guru atau orang tua, misalnya. Maka kebaikan-kebaikan itu akan terasa berat untuk dilakukan, dan mudah terhenti bila tidak ada lagi kontrol dari orang lain. Tidak memberi kesan dalam diri.
Berbeda jika kebaikan itu lahir dari kesadaran diri. Mengingat manfaat-manfaat yang dapat kita peroleh. Besar kemungkinan, kebiasaan baik itu akan tetap terjaga secara konsisten. Akan melahirkan ‘kehidupan baru’ yang semakin mendekatkan diri kita kepada kesuksesan.
“Dan siapa yang mengerjakan kebaikan akan Kami tambahkan baginya kebaikan pada kebaikannya itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.” (Asy Syuura [42]: 23)
Memunculkan kesadaran dari dalam diri untuk melakukan kebaikan memang tidak mudah. Butuh ilmu, keyakinan dan ikhtiar secara terus-menerus. Ilmu yang membuat seorang tahu kemanfaatan dari amal yang dilakukan. Keyakinan akan membentuk jiwa yang percaya kepada diri sendiri. Tidak mudah tergerus oleh pergaulan yang mengajak kepada kerusakan. Sedang ikhtiar yang konsisten akan mengubah kebiasaan menjadi akhlak. Sebab memang ada kalanya pembentukan akhlak harus dipaksa.
Sobat, hari ini kita telah belajar falsafah dari sebutir telur. Semoga membukakan hati kita untuk lebih bersemangat dalam melakukan kebaikan yang lahir dari kesadaran diri. Allah telah berjanji, setiap kebaikan, akan dibalas dengan kebaikan.
“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (Ar Rahmaan [55]: 60)
Ustadz Sholih Hasyim, Lc., Anggota DPP Hidayatullah
Jauhi Negativity Bias untuk Hidup yang Lebih Berkualitas
Oleh : Jamil Azzaini
Pernahkah Anda merasa sudah berbuat banyak kebaikan kepada seseorang namun yang diingat oleh orang tersebut justeru keburukan yang Anda lakukan? Padahal boleh jadi, keburukan yang Anda lakukan hanya 3 kali sementara Anda sudah berbuat kebaikan lebih dari 10 kali. Kondisi ini disebut dengan Negativity bias.
Negativity bias adalah fenomena dimana seseorang lebih mengingat pengalaman buruk dibandingkan pengalaman baik. Negativity bias ini biasanya muncul karena seseorang merasa terancam, mengalami ketakutan dan kehilangan sesuatu. Perasaaan ini membuat seseorang menjadi over thinking, cemas, takut, insecure dan bahkan over protective (Anjas Permata, 2020). Negativity bias yang dipelihara akan merusak hidup seseorang.
Seorang ahli bernama Muller Kizler melakukan penelitian tentang negativity bias ini. Sang peneliti menemukan bahwa ketika seseorang sedang berada pada kondisi negativity bias maka rasa kepercayaan diri dan rasa keberhargaan dirinya menjadi terancam. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa merusak hidup orang tersebut.
Bagaimana agar negativity bias ini tidak merusak hidup kita? Tergantung situasinya. Kita sebagai pelaku atau sebagai korban. Apabila kita sebagai pelaku atau dengan kata lain kita pernah berbuat negatif kepada seseorang maka bersegeralah berbuat kebaikan sedikitnya lima kebaikan kepada orang tersebut (Afzan, 2020). Ya, 1 keburukan segera diiringi dengan 5 kebaikan agar negativity bias tidak berdampak negatif . Semakin banyak kebaikan yang kita lakukan, negativity bias akan semakin melemah dan menghilang.
Bagaimana apabila kita menjadi “korban” atau kita yang merasa terkena negativity bias? Tips berikut semoga bisa membantu Anda.
Pertama, sadari bahwa kita sedang dalam kondisi negativity bias. Kita perlu mengenali beberapa tanda bahwa kita sedang mengalami negativity bias, diantaranya muncul emosi marah, jengkel, cemburu, merasa terancam, takut atau kita kehilangan sesuatu.
Ketiga, bersyukur atas berbagai kebaikan yang telah diberikan orang tersebut kepada kita. Ingat pula berbagai pengalaman indah yang pernah kita rasakan bersama orang tersebut. Menyadari bahwa orang tersebut manusia biasa yang juga berpeluang untuk keliru seperti halnya kita.
Saat negativity bias bisa kita kendalikan, hidup kita akan dipenuhi dengan kebahagiaan dan rasa syukur yang berlimpah. Dengan meningkatnya rasa bahagia dan rasa syukur ini kehidupan kita semakin indah dijalani, kehidupan kita semakin berkualitas dan layak kita rayakan setiap waktu. Cobalah.
Jamil Azzaini, Penulis Buku dan Motivator
Sumber : www.jamilazzaini.com
Ruang Kosong Muslimah Kita
Oleh: Mohammad Fauzil Adhim
Hari ini ketika pengetahuan semakin mudah didapat, yang membaca semakin banyak, maka marilah kita ingat sejenak hadis tentang zaman fitnah. Inilah masa penghafal Al-Qur’annya semakin banyak, tetapi fuqaha-nya semakin sedikit. Kian banyak yang membaca dan menyampaikan berbagai hal yang terasa seperti pengetahuan agama, tetapi ruhnya semakin hilang, tafaqquhnya kian rendah. Di masa itu pula penceramah semakin banyak, tetapi fuqaha semakin sedikit.
Jika kita memperhatikan, istilah faqih senantiasa berkaitan dengan kematangan memahami agama dan kesungguhan tekad untuk memegangi agama ini. Maka akan kian terasa pentingnya mengingat tanda lain dari zaman fitnah, yakni kian banyaknya orang berlomba-lomba mengejar dunia dengan amal akhirat. Pada saat yang sama kita mengingat keadaan memilukan di saat itu, yakni di antara sedikitnya fuqaha itu, sebagian besar tafaqquh fiddien bukan untuk kemuliaan dan kehormatan agama, tetapi demi memungut remah-remah dunia.
Maka berbicara tentang muslimah, tentang menjadi orangtua maupun guru yang mendidik anak-anak kita di masa thufulah, ada ruang yang rasanya dibiarkan kosong, hampa tanpa penghuni. Padahal inilah masa terpenting, masa yang sangat menentukan agar anak kita syakir saat memasuki masa mumayyiz. Dan itu berarti para ibu dan maupun guru benar-benar perlu mempelajari ilmu mendidik anak yang kuat akarnya, jelas pijakannya dan tegak kokoh prinsipnya.
Hari ini, menyedihkan sekali rasanya ketika mendengar perkataan yang begitu merdu terdengar, “Jadi orangtua maupun guru PAUD itu jangan hanya memahami agama. Perlu juga menguasai teknik-teknik parenting yang kreatif dan kekinian.”
Ungkapan semacam ini seolah agama tak memadai. Pada saat yang sama seakan-akan sudah sangat sempurna menanamkan agama ini kepada diri anak. Padahal masih sangat banyak orangtua maupun pendidik di PAUD yang bahkan tidak dapat membedakan antara ikhlas dan ridha.
Mengapa masa thufulah ini sangat mendasar? Mari kita ingat sejenak sabda Rasulullah shallaLlahu ‘alaihi wa sallam:
كُلُّ مَوْلُودٍ يُولَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ حَتَّى يُعرب عَنْهُ لِسَانُهُ فَإِذَا عَبَّرَ عَنْهُ لِسَانُهُ إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا
“Setiap anak lahir di atas fithrah, sehingga lisannya dapat mengutarakan (keinginan, perasan, gagasan) dengan lisannya. Apabila lisannya telah dapat mengungkapkan kemauan dirinya, maka adakalanya ia menjadi syakir (orang yang bersyukur; Islam), dan adakalanya ia menjadi orang yang pengingkar (kafir).” (HR. Ahmad).
Di fase mana anak “إِمَّا شَاكِرًا وَإِمَّا كَفُورًا” (adakalanya ia menjadi syakir (orang yang bersyukur; Islam), dan adakalanya ia menjadi orang yang pengingkar) tersebut? Ibnu Qayyim Al-Jauziyah sebagaimana dinukil oleh Syaikh ‘Ali ibn ‘Abdullah ibn ‘Ali Al-Qarni dalam Al-Fithrah: Haqiiqatuha wa Madzaahibunnaas Fiiha menunjukkan bahwa ini terjadi ketika anak sudah mumayyiz, yang anak-anak itu tetap lurus dan berada di atas keimanan ataukah menunjukkan arah menyimpang dari fithrah disebabkan oleh penggunaan akal mereka.
Mumayyiz adalah masa ketika kita perlu mengevaluasi anak maupun diri kita. Tetapi kapan masa yang sangat menentukan untuk menyiapkan anak kita agar di masa ketika ia mulai diperintahkan untuk mulai mendirikan shalat, sungguh ia menjadi syakir? Bukan condong kepada ingkar? Masa sangat strategis itu qabla mumayyiz.
Maka membicarakan tentang apa yang sangat penting bagi muslimah, cukuplah kita merasa sedih jika madrasah pertama anak-anak kita itu berkecenderungan pada atba’u kulli naaiq (mengikuti setiap yang berteriak, yang sedang viral) dan bukan menjadi muta’allim ‘alaa sabilinnajah (penuntut ilmu di atas jalan keselamatan). Cukuplah kita bersedih apabila kemauan untuk berbenah tidak seiring untuk semakin idealis dan ideologis. Hanya bersibuk dengan isu populis, termasuk dalam soal parenting maupun keluarga secara umum.
Hari ini, kita memerlukan upaya serius yang benar-benar menggali panduan dari agama ini. Bukan mengambil serampangan dari apa saja yang sedang ramai dibicarakan, lalu mencomot ayat maupun hadis sebagai pembenaran. Apalagi jika meninggikan apa yang dianggap ilmiah, padahal menurut psikologi pun bukan termasuk ilmu (pseudoscience), sementara kepada agama ini merasa cukup dan bahkan merasa lebih dari cukup.
Mohammad Fauzil Adhim, Penulis Buku dan Motivator
Dua Faktor Pemutus Mata Rantai Kezaliman : Menjadi Shalih & Mushlih
Oleh : Ustadz Sholih Hasyim
Ajukan Pertanyaan ini Setiap Bangun Tidur?
Oleh : Jamil Azzaini
Bill Gates pernah mengatakan “Kualitas hidup seseorang sangat tergantung dengan kualitas pertanyaan yang diajukan.” Sementara Steve Jobs setiap pagi selalu mengajukan pertanyaan “Jika hari ini adalah hari terakhir hidupku, akankah aku melakukan apa yang ingin aku lakukan hari ini? Jika jawabannya ‘tidak’ selama berhari-hari, maka aku tahu aku harus mengubah sesuatu.”
Belajar dari dua tokoh tersebut saya membiasakan diri mengajukan empat pertanyaan setelah bangun tidur. Tentu empat pertanyaan tersebut saya ajukan setelah saya membaca doa bangun tidur. Setelah membaca doa bangun tidur, saya tetap duduk di atas tempat tidur dan mengajukan tiga pertanyaan berikut:
Pertama, Apa yang perlu saya lakukan hari ini agar Allah swt semakin mencintai saya?
Kedua, apa yang perlu saya lakukan hari ini untuk meningkatkan kemampuan saya?
Ketiga, kebaikan apa yang perlu saya lakukan hari ini?
Keempat, hal berbeda apa yang perlu lakukan hari ini?
Setelah menjawab 4 pertanyaan tersebut dalam “dialog imajiner” di pikiran, saya kemudian turun dari tempat tidur dan meneruskan aktivitas rutin harian.
Pertanyaan pertama perlu kita ajukan karena pada hakekatnya kita semua adalah makhluk spiritual yang sedang melakukan perjalanan profesional. Pekerjaan utama kita dimuka bumi adalah berusaha agar Allah swt semakin mencintai kita, selain itu adalah pekerjaan sambilan.
Pertanyaan kedua kita ajukan agar kita selalu bertumbuh. Nilai-nilai dan keahlian yang melekat pada diri kita mampu mengikuti perkembangan zaman bahkan bisa menaklukkan perubahan yang terjadi sangat cepat, seperti saat ini.
Pertanyaan ketiga kita ajukan agar keberadaan kita memberi manfaat kepada banyak orang. Kita selalu berupaya membantu orang lain untuk menemukan solusi atas berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Kita menyuntikkan kebahagiaan kepada banyak orang, memberikan inspirasi dan menjadi jalan kebaikan bagi banyak orang.
Pertanyaan keempat kita ajukan agar setiap hari kita selalu melakukan hal yang baru, tidak terjebak rutinitas. Hal yang baru tersebut tidak harus sesuatu yang besar, boleh jadi sarapan yang berbeda, jalan menuju kantor yang berbeda, memperlakukan pasangan hidup secara berbeda, ngobrol dengan anggota keluarga dengan topic yang berbeda.
Dengan mengajukan empat pertanyaan ini saya merasakan banyak kebaikan yang bisa saya dapatkan setiap harinya. Semoga pengalaman saya ini menginspirasi Anda. Mau mencoba?
Jamil Azzaini, Penulis Buku dan Motivator
Sumber : www.jamilazzaini.com
Khutbah Jumat: Mahalnya Darah Seorang Muslim
Oleh: Ali Akbar bin Muhammad bin Aqil
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَنَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. أما بعد فَيَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah
Hidayatullah.com | DALAM kitab Al-Kaba’air karya al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman Adz-Dzahabiy atau yang sering disingkat dengan Imam Dzahabiy, terdapat daftar hitam dosa-dosa besar. Pada urutan pertama beliau menyantumkan dosa besar adalah menyekutukan Allah SWT. Syirik kepada Allah. Menyembah kepada selain Allah. Perbuatan ini merupakan dosa besar bahkan paling besarnya dosa yang dilakukan oleh seorang manusia. Tidak ada kata ampun bagi siapa saja yang menyembah sesembahan selain Allah. Allah yang Maha Esa, hanya Allah yang berhak disembah, tiada tuhan selain Allah.
Syirik kepada Allah merupakan kezaliman terbesar dalam kehidupan seorang manusia yang melakukannya. Allah SWT berfirman :
إِنَّ ٱلشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (QS. Luqman : 13).
Kaum Muslimin Rahimakumullah
Setelah menyantumkan syirik sebagai dosa besar di urutan pertama, selanjutnya Imam Adz-Dzahabiy menyebutkan daftar dosa besar yang kedua, yaitu menghilangkan nyawa manusia. Jika syirik hubungannya bersifat vertikal, dosa antara hamba dengan Tuhannya, maka menghilangkan nyawa manusia tanpa hak, adalah dosa besar yang bersifat horizontal.
Pembunuhan yang dilakukan atas dasar kebencian, di luar proses pengadilan, pembunuhan yang terjadi karena ketidaksukaan pada diri seseorang, pasti akan menyebabkan kegaduhan dan kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, Islam melarang keras aksi main hakim sendiri yang dilakukan kepada siapa saja, baik kepada orang yang dia sukai atau dia benci.
Dalam kitab Al-Kaba’air, dosa kedua ini mengandung kehinaan bagi pelakunya khususnya ketika mereka di alam akhirat. Dalam surat An-Nisaa’ ayat 93 disebutkan apa saja yang diterima oleh si pelaku pembunuhan. Allah swt berfirman:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahannam, ia kekal di dalamnya, Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Dari ayat ini ada lima hukuman di akhirat untuk para pembunuh
Pertama, dia dimasukkan ke dalam api neraka jahanam. Kedua, pelakunya akan tinggal selama-lamanya di Neraka. Ketiga, mendapatkan murka Allah. Empat, jauh dari rahmat Allah, dan kelima, dia akan mendapatkan siksa yang dahsyat nan pedih.
Tidak heran jika Rasulullah ﷺ mengkategorikan pembunuhan sebagai perbuatan yang membinasakan. Nabi ﷺ bersabda: “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan!” Lalu beliau menyebut salah satunya membunuh seorang manusia yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang dibenarkanNya.
Jama’ah Salat Jum’at yang dimuliakan Allah
Kehinaan yang akan diberikan kepada para pembunuh yang disinggung dalam kitab Al-Kaba’air bahwa dosa menghilangkan nyawa manusia yang tidak bersalah seperti dosa membunuh seluruh umat manusia di muka bumi. Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya :
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruhnya.” (QS: Al-Ma’idah: 32).
Menghilangkan nyawa seorang mukmin dosanya lebih berat dari hancurnya dunia. Artinya, darah dan nyawa seorang mukmin harus dihormati, dijaga, tidak boleh ditumpahkan karena ia lebih mahal dari apa yang ada di dunia. Rasul ﷺ bersabda:
لقتل مُؤمن أعظم عِنْد الله من زَوَال الدُّنْيَا
“Sungguh, pembunuhan atas seorang mukmin itu lebih besar dari pada luluh lantaknya dunia di sisi Allah.” (HR. Tirmidzi).
Jangankan menumpahkan darah orang beriman, kita juga dilarang menghilangkan nyawa orang kafir yang mengikat perjanjian dengan kita atau disebut kafir dzimmi. Beliau, Nabi ﷺ bersabda:
مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا
“Siapa yang membunuh (kafir) mu’ahad (terikat perjanjian damai) maka dia tidak akan dapat mencium wangi surga. Padahal harumnya dapat tercium dari jarak perjalanan empat puluh tahun.” (HR. Bukhari).
Mari kita renungkan, membunuh orang-orang kafir yang terikat perjanjian damai, mendatangkan hukuman berupa tidak bisa mencium bau Surga, apalagi jika pembunuhan itu dilakukan kepada orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika untuk membunuh orang yang terikat perjanjian saja sedemikian halnya, lalu bagaimana dengan membunuh seorang Muslim?
Jama’ah yang dimuliakan Allah
Menurut Nabi, pelaku pembunuhan adalah orang yang putus asa dari rahmat Allah. Beliau bersabda:
مَن أعانَ علَى قَتلِ مؤمنٍ بشَطرِ كلِمةٍ لقيَ اللَّهَ عزَّ وجلَّ مَكْتوبٌ بينَ عَينَيهِ آيسٌ مِن رحمةِ اللَّهِ
“Barangsiapa membantu pembunuhan atas seorang muslim walau dengan sepenggal kata niscaya akan bertemu dengan Allah sedangkan di antara kedua matanya tertulis ‘orang yang putus asa dari rahmat Allah ta’ala’.” (HR:Ibnu Majah).
Siapa saja yang turut andil dalam aksi pembunuhan, baik pihak pemberi dana, pemberi senjata, sutradaranya hingga eksekutor di lapangan, siapa pun yang punya andil, sekecil apapun andil dan sahamnya, kelak tertulis di antara kedua matanya, “Aayisun min Rahmatillaah (Orang yang putus asa dari rahmat Allah).”
Saudara-saudaraku sekalian
Dari uraian khutbah ini kita bisa menarik kesimpulan betapa besarnya dosa yang akan ditanggung kepada mereka yang membunuh tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Berapa beratnya beban yang dipikul oleh para pembunuh.
Hidupnya akan terisi kegelisahan, ketidakbahagiaan, kegundahan, wajah-wajah mukmin yang mereka bunuh akan terngiang-ngiang di benak para pembunuh dan pembantai sepanjang hidupnya. Kesusahan yang mereka rasakan akan lebih mereka rasakan di akhirat. Allah SWT tidak tidur. Allah Maha Tahu kekejaman dan kekejian yang telah mereka lakukan kepada orang-orang beriman yang telah mereka bunuh.
Semoga Allah SWT melindungi diri kita dan keluarga dari perbuatan yang keji agar kita selamat dari berbagai hukuman yang sangat menakutkan di akhirat itu.
بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِتِلَاوَتِهِ إِنَّهُ تَعَالَى هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ
Khutbah II
اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَامْتِنَانِهِ. اَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ، اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا. اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَر، وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى عَنْهُ وَزَجَر.
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآء مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ، اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِيْن، وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَأَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمَ الدِّيْنِ.
اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَسُوْءَ اْلفِتَن وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا إِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
عِبَادَاللهِ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَرُ
__________
Penulis, pengajar di Pesantren Daruttauhid Malang dan Anggota Bidang Dakwah Rabithah Alawiyah Jawa Timur
Sumber : www.hidayatullah.com